Jan 29

Kecemasan Sosial : “Feels like I’m NOBODY”

Orang menjadi cemas karena banyak hal dan kecemasan yang melibatkan situasi sosial atau interaksi dengan orang lain merupakan salah satu diantaranya.

Berkaitan dengan fakta bahwa orang dapat menjadi cemas karena berbagai alasan, maka hal yang harus diketahui adalah apa yang membedakan kecemasan sosial dengan kecemasan yang timbul dari sumber non-sosial. Belumlah akurat untuk menentukan dan mengambil keputusan bahwa semua kecemasan yang muncul saat individu berinteraksi dengan individu lain atau kecemasan yang disebabkan oleh orang lain merupakan kecemasan sosial. Misalnya, jika individu merasa cemas karena dibuntuti oleh orang asing atau individu cemas karena berpikir bahwa pilot penerbangannya telah diracuni, maka kecemasan itu tidak dapat dikarakteristikkan sebagai kecemasan sosial.

Kecemasan sosial muncul karena ada kekhawatiran memperoleh evaluasi negatif dari orang lain saat inidvidu terlibat dalam aktivitas atau situasi sosial tertentu.

Cara tepat untuk mempelajari sebab-musabab munculnya kecemasan sosial adalah dengan menguji bentuk-bentuk situasi interpersonal yang paling banyak menimbulkan kecemasan pada individu (Leary & Kowalsky, 1997). Hasil penelitian Russel, Cutrona, & Jones pada responden mahasiswa menunjukkan bahwa situasi yang membuat responden merasa malu dan cemas adalah saat mereka berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya (asing) dan figur otoritas. Situasi lain yang membangkitkan kecemasan adalah situasi melibatkan performansi di depan publik (misalnya: berpidato), menemui orang/lingkungan baru, situasi memalukan, situasi mengandung resiko dalam hubungan dengan lawan jenis (misal: mengajak kencan), situasi melibatkan fungsi sosial (misalnya: kerja bakti), evaluasi (misalnya: ujian lisan, wawancara kerja), dan upaya menampilkan kesan pada orang lain (misal: menunjukkan status sosial, menarik perhatian) (Leary & Kowalsky, 1997). Situasi-situasi ini tampak serupa karena kesemuanya mengandung unsur bagaimana menimbulkan kesan positif di mata orang lain.

Holt, Heimberg, Hope, & Liebowitz (dalam Leary & Kowalsky, 1997) menyampaikan bahwa situasi yang dapat memunculkan kecemasan sosial dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori primer. Situasi yang paling mudah memunculkan kecemasan adalah situasi yang melibatkan pembicaraan dan interaksi formal, misalnya: menyampaikan sambutan/pidato/ceramah, pertunjukan di atas panggung, menyampaikan laporan dalam kelompok, presentasi rapat, dan situasi lain yang serupa. Kategori kedua adalah situasi sosial yang melibatkan pembicaraan dan interaksi non-formal, misalnya: bertemu dengan orang tidak dikenal/asing, datang ke pesta, mengajak kencan, menjemput seseorang di tempat umum (contoh: di restoran/bar). Ketiga, interaksi yang menuntut perilaku asertif, (misalnya: menyampaikan ketidaksetujuan, mengembalikan barang ke toko, menolak bujukan penjual keliling/sales, dll.) juga menimbulkan kecemasan sosial. Keempat, terkadang individu merasa cemas saat mereka merasa sedang diperhatikan oleh orang lain, misalnya saat bekerja, menulis di depan kelas (di papan tulis), makan di tempat umum, dan lain-lain.

Kecemasan sosial diwarnai oleh kekhawatiran individu tentang bagaimana ia membawakan diri dalam situasi sosial.

Sebuah penelitian menujukkan bahwa harga diri merupakan salah satu faktor yang turut berperan memunculkan kecemasan sosial meski tidak secara langsung (Clark & Arkowitz, Leary, Leary & Kowlsky, Leary & Meadows dalam Leary & Kowalsky, 1995). Dalam hal ini, individu dengan harga diri rendah cenderung meragukan kemampuannya (minder) dan berkeyakinan bahwa orang lain akan meragukan kemampuanya pula. Harga diri dan kecemasan sosial dijembatani oleh keyakinan individu pada bagaimana orang lain akan menilai mereka. Berdasarkan teori presentasi diri ini, perilaku individu lebih digerakkan oleh harapannya tentang kesan yang ia tunjukkan pada orang lain.

Meskipun penelitian Leary & Kowalsky (1995) tidak secara eksplisit mengukur standar performansi untuk presentasi diri, penelitian ini menggarisbawahi fakta bahwa kecemasan sosial yang merupakan bagian kepribadian terkait erat dengan kepedulian individu pada upaya memenuhi standar orang lain daripada memenuhi standarnya sendiri. Dalam teori presentasi diri, beberapa karakteristik disposisional berkontribusi sejalan dengan komponen motivasional dan kemampuan. Sebagai contohnya, individu yang sadar diri pada situasi publik lebih fokus pada aspek-aspek di dirinya yang dapat diamati oleh orang lain dan pada akhirnya mengarahkan individu untuk mengelola kesan tersebut. Pada saat yang sama, preokupasi pada diri sendiri dapat mengarahkan individu untuk pada pikiran diri negatif dan menurunkan jumlah perhatian individu yang sadar diri  pada situasi publik, sehingga malah menimbulkan kesan negatif dari pasangan interaksinya. Sebagai hasilnya, individu akan semakin meragukan kemampuan mengelola kesan yang ia miliki.

Dampak negatif kecemasan sosial tidak hanya tampak pada penurunan kesejahteraan subjektif dan kualitas hidup penderita, namun juga pada fungsi peran sosial dan perkembangan karirnya (Wittchen & Fehm, 2003), karena kecemasan akan dapat mempengaruhi beberapa aspek kehidupan. Penderita kecemasan sosial menilai dirinya lebih buruk daripada orang lain dan akan menurunkan kemampuan dan performansinya sehingga ia benar-benar lebih buruk bila dibandingkan dengan orang lain (Asbaugh, Antony, McCabe, Schmidt, & Swinson, 2005). Karenanya, ia akan mengalami penurunan fungsi dan keterampilan sosial serta kualitas interaksi sosial yang ia lakukan (Asbaugh, et al, 2005; Hirsch, Meynen, & Clark, 2004), mengalami kesalahan dalam memproses informasi selama interaksi sosial berlangsung (Kessler, 2003), dan berperilaku berdasarkan interpretasi subjektif (Torres & Guerra, 2002), yang mana interpretasi ini lebih banyak diwarnai oleh evaluasi negatif pada peristiwa sosial yang tidak menyenangkan (Wilson & Rapee, 2005). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, kecemasan sosial perlu ditangani sehingga individu dapat berperan dan berfungsi secara optimal dalam kehidupannya.

Penderita kecemasan sosial pada umumnya lebih sulit ditangani karena kecemasan yang dialaminya telah merupakan bagian dari kepribadian (trait anxiety) bukan kecemasan yang sifatnya situasional (state anxiety). Meskipun demikian, ada banyak pilihan terapi yang dapat diikuti oleh penderita kecemasan sosial, antara lain yang populer adalah terapi kognitif perilakuan (cognitive behavior therapy), terapi kognitif emotif (Rational emotive therapy), Terapi Gestalt, atau dapat juga dengan Terapi Naratif (narrative therapy).

 

Sumber bacaan:

  • Ashbaugh, A. R., Antony, M. M., McCabe, R. E., Schmidt, L. A., & Swinson, R. P. (2005). Self-evaluated bias in social anxiety. Cognitive Therapy and Research, 29, 387 – 398
  • Hirsch, C. R., Meynen, T., & Clark, D. M. (2004). Negative self-imageryin social anxiety contaminates social interactions. Memory, 12, 496 – 506
  • Kessler, R. C. (2003). The impairments caused by social phobia in the general population: Implications for intervention. Acta Psychiatrica Scandinavica, 108, 19–27
  • Leary, M. R. & Kowalsky, R. M. (1995). The self presentation model of social phobia. In R. G. Heimberg, M. Liebowitz, D. Hope, & F. Schneier (eds), Social phobia: Diagnosis, assessment, and treatment. NY: Guilford Press
  • Leary, M. R. & Kowalsky, R. M. (1997). Social anxiety. New York: Guilford Press
    Torres, S. & Guerra, M.P. (2002). Application of narrative therapy to anorexia nervosa: a Study case. Revista Portuguesa de Psicossomatica, Vol. 4:1, 141 – 156
  • Wilson, J. K. & Rapee, R. M. (2005). Interpretative biases in social phobia: Content Specificity and the effects of depression. Cognitive Therapy and Research, 29, 315-331
  • Wittchen, H. U. & Fehm, L. (2003). Epidemiology and natural course of social fears and social phobia. Acta Psychiatrica Scandinavica, 108 (Suppl. 417), 4–18

Comments Off on Kecemasan Sosial : “Feels like I’m NOBODY”
comments